Oleh: Guntenda Halilintar
Berita Halaman ke-2 Kompas. Sabtu, (2 April 2018)Ia menuliskan tentang cuitan John Brennan yang membangkitkan kembali istilah lama: Kakistokrasi (kakistocracy). Istilah itu berasal dari bahasa Yunani; kakisto (buruk) dan kratos (pemerintah). Cuitan Ini pun menjadi viral dalam sekejap.
Yang lebih menariknya, situs kamus Merriam-webster bahkan menyebutkan pencarian kata Kakistokrasi sebagai pencarian tertinggi, yaitu meningkat 13.700 persen sejak di-twit Brennan. Banyak orang penasaran: apa Kakistokrasi? dalam kamus Merriam-Webster.com; Kakistokrasi Adalah pemerintahan orang-orang terburuk atau pemerintahan orang-orang tak layak dan tak kompeten (Oxford Dictionary), atau pemerintahan oleh orang yang paling Tidak pantas, Tidak mampu, atau Tidak berpengalaman (dictionary.cambridge.org)
Istilah Kakistokrasi paling awal muncul pada 1644 dalam khotbah Paul Gosnold di St. Maries, Oxford. Lalu dipakai Novelis Inggris, Thomas Love Peacock dalam The Misfortunes of Elphin (1829); senator AS pembela qperbudakan William Harper (1838); Penulis Inggris John Martineau mengenai situasi di Australia (1869); dan Penyair AS James Russell Lowell saat bersurat kekoleganya, Joel Benton (1876). Tak heran, The Washington Pos (13/4/2018) menulis Kakistokrasi sebagai kata kuno yang berusia 374 tahun. Fenomena seperti itu tak jauh beda dengan kondisi sekarang.
Sasaran kritik ini memang diarahkan ke gaya Kepemerintahan Donald Trump yang dicap sebagai Kakistokrasi.
Jika kita bandingkan dengan situasi politik dalam negeri saat ini, Sedikitnya Politikus di Parlemen (legislatif) acapkali Para Politikus ini mempertontonkan kekasaran berpolitik yang bikin sumpek ruang politik.
Seringkali ruang dengar kita disajikan oleh berita-berita politik atas kebijakan yang dilahirkan oleh Para Politik Senayan. Misalnya Perubahan kedua UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang disahkan pada tanggal 12 februari 2018 yang lalu, kemudian diubah dengan UU No. 2 Tahun 2018 Tentang MD3
Pengesahan UU tersebut memantik reaksi negatif dari sejumlah kalangan sebab terdapat poin dalam revisi yang dianggap kontroversial dan berpotensi melanggar konstitusi. Pengesahan RUU ini hanya dianggap menguntungkan anggota dewan karena memberikan hak imunitas secara berlebihan
Tentu kita semua tahu bahwa UU MD3 sangat Kontraproduktif terhapdap nilai-nilai demokrasi yang mana suara rakyat dibungkam oleh MD3, UU ini juga mendapat resistensi masyarkat publik. Jadi tidak heran sebagaian orang mengatakan UU MD3 ini merupakan paroduk politik parlemen
Lahinya UU ini menunjukan bahwa "DPR lupa diri" seperti adagium klasik DPR bagai "kacang lupa kulit". Yang mana semestinya tugas dan fungsi DPR sebagai penyambung lidah rakyat. Ini menunjukan bahwa DPR Adalah wakil partai politik bukan lagi wakil rakyat.
Hemat saya,Perubahan kedua UU MD3 No.2 Tahun 2018 tentang MD3 sungguh memberikan keistimewaan kewenangan dan hak DPR. ini akan berimplikasi buruk bagi penegakan hukum dan proses demokrasi di Indonesia. Sebab anggota DPR nantinya dikhawatirkan akan banyak menggunakan pasal 245 untuk mengelak ketika diduga memiliki kasus hukum. Juga akan dikawatirkan bahwa Setiap Anggota DPR yang berprilaku koruptif akan berlindung dibalik Pasal 245 UU MD3 ini serta akan berdampak pada penyalahgunaan kewenangan yang tak sehat dari para anggota DPR.
KEWENANGAN ISTIMEWA DPR?
UU MD3 memberikan peluang terhap lembaga DPR untuk mengadili dan menahan seseorang yang dianggap merendahkan kehormatan DPR. Sementara didalam UU MD3 ini tidak dijelaskan secara detail yang mengatur tentang kewenangan pemanggilan paksa yang dilakukan oleh DPR.
di Indonesia secara hukum kewenangan pemanggilan paksa hanya dimiliki oleh aparat penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaaan, maupun KPK. Sedangkan DPR secara kewenangan merupakan legislatif bukan yudikatif, yang terbatas pada fungsi penganggaran, pengawasan, dan legislasi.
Dalam asas equality before the law (persamaan di hadapan hukum), norma baru yang dibuat di dalam UU MD3 itu sangat melanggar prinsip umum hukum.
Pada prinsipnya, aturan yang sudah disahkan itu menyalahi prinsip rule of law, merusak makna sistem check and balances, dan bertentangan dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Sebab melalui undang-undang tersebut, DPR menambah kekuasaannya sebagai badan legislatif dengan kekuasaan penegakan hukum bahkan melampaui kewenangan penegak hukum. Hal ini sangat mencerminkan bahwa DPR sangat berkuasa serta menjadikan dirinya sebagai lembaga anti kritik dan kebal hukum.
Posting Komentar