Senin, 26 Februari 2018

Kontroversi “Hari Jadi” Mabar Belum Usai

Oleh: Guntenda Halilintar 

Foto : Gun Tenda Halilintar

 














Lahirnya Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) berdasarkan Undang-undang (UU). Lahirnya sebuah UU yang dalam hal ini UU tentang pembentukan suatu Daerah Otonom Baru (DOB), tentu melalui proses panjang yang melibatkan sejumlah pihak, yaitu: unsur masyarakat, pemerintah dan parlemen. Keterlibatan ketiga komponen itu sesuai porsi dan kewenangan masing-masing. 

Mula-mula tentu harus ada keinginan atau tuntutan dari masyarakat akar rumput (grassroot) yang merepresentasikan adanya kehendak yang kuat untuk memekarkan sebuah DOB. Aspirasi rakyat itu, merupakan salah satu syarat dasar disamping beberapa syarat formal lainnya di dalam alur proses pemekaran DOB. Aspirasi rakyat tersebut, kemudian disampaikan kepada pemerintah yang dimulai dari unsur pemerintahan daerah kabupaten (induk), pemerintah provinsi hingga pemerintah pusat. Setelah semua persyaratan terpenuhi, barulah pemerintah dan parlemen dapat menindaklanjutinya hingga menjadi sebuah produk hukum yang legal. Rancangan UU pembentukan kabupaten (RUU) lalu dibahas dan disahkan menjadi UU melalui beberapa tahapan sidang di DPR. Puncak dari proses panjang itu ialah ketika DPR mengesahkan RUU menjadi UU. 


Dalam konteks Mabar, pengesahan UU tersebut ditetapkan melalui sidang paripurna di DPR RI pada tanggal 27 Januari 2003. Sebulan kemudian yaitu, pada tanggal 25 Februari 2003, UU yang telah disahkan oleh DPR tersebut, diberi urutan penomoran dan Lembaran Negara atas UU yang yang sudah ada sekaligus diumumlan dalam berita begara. Berdasarkan tata urutan yang dilakukan oleh Sekretaris Negara (Sesneg) dan Sekretariat Kabinet (Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II), maka untuk UU tentang Pembentukan Kabupaten Mabar di Provinsi NTT, diberi Nomor 8 dan tercatat dalam Lembaran Negara Nomor 28, serta tambahan Lembaran Negara Nomor 4271. Semua proses pemberian nomor dan penandatangan terhadap UU yang disahkan itu, merupakan tindak lanjut yang wajib dilakukan oleh Sekretariat Negara. Tindak lanjut itu adalah sebuah tindakan hukum administrasi negara. 


Kurang lebih lima bulan setelah itu tepatnya tanggal 17 Juli 2003, Mendagri, Harry Sabarno bersama Gubernur NTT, Bupati Manggarai dan sejumlah unsur lainnya, melakukan acara seremonial Peresmian Kabupaten Mabar yang acaranya dilakukan di gedung Youth Center-Labuan Bajo. Saat itu, Mendagri membacakan Surat Keputsan (SK) tentang Peresmian Kabaupaten Mabar di hadapan ribuan masyarakat yang hadir dalam acara tersebut. Acara peresmian Kabupaten Mabar yang dilakuan oleh Mendagri itu juga merupakan tindak lanjut terhadap UU yang sudah ada.

Kontroversi HUT Mabar
Pada tahun 2018 ini, usia Kabupaten Mabar genap 15 tahun. Dalam kurun waktu 15 tahun, perdebatan tentang ‘Hari Jadi’ atau Hari Ulang Tahun (HUT) Mabar masih diperdebatkan secara sengit di kalangan masyarakat. Ketika kabupaten Mabar dipimpin oleh Bupati W. Fidelis Pranda (2003-2004 dan 2005-2010) , HUT Mabar ditetapkan tanggal 17 Juli. Penetapan tanggal tersebut, merujuk tanggal peresmian kabupaten Mabar. Sedangkan saat dipimpin oleh Bupati Agustinus Ch Dula (2010-2015 dan 2015-2020), HUT Mabar ditetapkan tanggal 25 Februari. Penetapan HUT Mabar pada tanggal tersebut, konon telah diperkuat melalui Perda Mabar tahun 2014 silam. Namun penetapan HUT Mabar yang dilakukan secara berbeda-beda oleh kedua Bupati itu, terus menuai perdebatan panjang dan menimbulkan kontroversial di kalangan masyarakat Mabar sendiri.
Sejumlah eksponen Pejuang pemekaran yang dalam hal ini diwakili oleh Bernadus Barat Daya (BBD), sejak awal (2003) telah sering mempersoalkannya. Menurut BBD, penetapan HUT Mabar baik pada tanggal 17 Juli maupun tanggal 25 Februari sebagaimana yang telah dilakukan oleh kedua Bupati itu merupakan sebuah kesalahan sejarah, karena tidak benar dan tidak tepat.
Untuk kesekian kalinya, BBD yang merupakan salah satu tokoh Pejuang pemekaran kabupaten Mabar, kembali melontarkan kritikan pedas dan perlawanan terhadap penetapan HUT Mabar yang menurutnya tidak tepat itu. Upaya perlawanan BBD itu, setidaknya tergambar dalam tulisan singkat dalam akun facebook miliknya di bawah judul “HUT MABAR KE 15”. Tulisan BBD itu ia postingkan tepat pada tanggal 27 Januari 2018 silam. 


Saudara BBD berpendapat bahwa HUT Mabar, sejatinya jatuh pada tanggal 27 Januari, bukan pada tanggal dan bulan yang lain. HUT Mabar menurutnya harus merujuk pada tanggal dan bulan penetapan UU pembentukan kabupaten Mabar yang tepat pada tanggal 27 Januari. Argumentasi singkat yang ia tandaskan antara lain: Pertama, bahwa kabupaten Mabar lahir karena adanya UU, dan UU tersebut, lahir pada tanggal 27 Januari 2003. Sehingga logislah kalau HUT Mabar mestinya mengikuti hari diamana UU pembentukannya ‘dilahirkan’. Kedua, adapun tanggal 25 Februari 2003 dan 17 Juli 2003 menurut pandangan mereka, merupakan tanggal dan bulan yang tetap bernilai sejarah, namun tidak dapat ditetapkan sebagai HUT Mabar. Karena kedua tanggal dan bulan tersebut, adalah ‘akibat’ atau konsekuensi hukum lanjutan dari adanya tanggal 27 Januari. Tanpa tanggal 27 Januari, maka tidak akan pernah ada tanggal 25 Februari dan tanggal 17 Juli. Dengan lain perkataan, bahwa peristiwa sejarah tanggal 25 Februari dan 17 Juli itu, merupakan peristiwa ‘hukum administrasi negara’, sedangkan tanggal 27 Januari, merupakan peristiwa ‘hukum dan politik’ sekaligus. Lembaga negara yang berwenang untuk menghasilkan produk hukum-politik (proses legislasi) berupa UU hanya pada dan melalui DPR RI. Semua produk hukum yang dihasilkan dalam proses legislasi di parlemen, wajib berlaku bagi semua lembaga negara lainnya dan wajib pula ditaati oleh semua warga negara. 


Perlu Kajian dan Kepastian
Sejauh ini, masyarakat publik belum pernah mendengar argumentasi apapun dari pihak Pemda Mabar tentang alasan penetapan tanggal HUT Mabar itu. Baik zaman Bupati Pranda maupun Bupati Dula, belum pernah secara terbuka menyampaikan dasar argumentasi mereka kepada public. Padahal public juga berhak untuk mengetahui alasan-alasan apa kiranya di balik penetapan HUT Mabar yang berbeda-beda pada zaman kepemimpinan keduanya. 


Kontroversi dan perdebatan di kalangan masyarakat tentang HUT Mabar seperti yang dikemukakan di atas, tentu tidak boleh dibiarkan terus terjadi. Idealnya, Pemda Mabar perlu segera membuka diri untuk menerima masukan, saran dan pendapat dari sejumlah pihak. Dalam kaitan itu, Pemda Mabar sejatinya harus dapat menginisiasi dan memfasilitasi sebuah dialog terbuka tentang HUT Mabar itu. Ruang dialog harus dibuka seluas-luasnya dengan menghadirkan sejumlah pihak yang memiliki kapasitas dan kompetensi untuk didengar dan menjadi rujukan bagi Pemda dalam menentukan HUT Mabar yang sebenar-benarnya. Perda tentang Hari Jadi yang terlanjur dibuat oleh Pemda Mabar beberapa tahun lalu, harus ditinjau kembali dengan merujuk pada berbagai pikiran, masukan dan kajian dari para pihak. Perda tentang Hari Jadi Mabar itu bukanlah ‘kitab suci’ yang haram dibongkar atau diamandemen. UUD Negara tahun 1945 saja, telah diamandemen hingga 4 kali pada era Reformasi. Mengapa Perda yang merupakan produk hukum paling rendah di Republik Indonesia ini tidak boleh ditinjau kembali? 


Tidak ada yang perlu disesalkan atas apa pun yang salah pada masa lampau. Kesalahan itu, bukan pula sebuah hal yang harus tabu untuk diperbaki. Justru upaya perbaikan itu adalah gambaran ketulusan kita untuk membuka lembaran sejarah baru yang lebih baik, bukan saja bagi kepentingan kita hari ini, tetapi justru dan terutama bagi kepentingan generasi kita yang akan lahir kemudian. Juga demi meluruskan sejarah itu sendiri. (Minggu/25/2)

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search