Oleh: Melkior Harsoni
Dok. Foto Istimewa |
Berbicara politik tentu tidak asing lagi
bagi kita sebagai rakyat Indonesia, apalagi di era reformasi ini memberikan
peluang ataupun kebebasan kepada siapa saja yang bergabung ke rana politik.
Sebelum membahas lebih jauh, terlebih dahulu, memahami definisi politik sebagai
inti atau pun acuan dalam penulisan ini. Politik secara etimologis berasal dari
bahasa yunani (Politikos, yang berarti
dari, untuk, atau yang berkaitan dengan warga negara), adalah proses
pembentukan dan pembagian kekuasan dalam masyarakat yang antara lain
mewujudkan proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Dalam bahasa Belanda
(politiek) dan dalam Inggris (politics), yang masing-masing bersumber
dari bahasa yunani yang acapkali berkaitan dengan kebijakan dalam suatu negara.
Menurut Aristoteles, politik adalah seni dan
ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Disamping itu, politik juga dapat ditilik dari sudut pandang yang berbeda,
yaitu antara lain; politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan
kebaikan bersama. Menurut Joice Mitchel, politik adalah pengambilan keputusan
kolektif atau pembuatan kebijaksanaan umum masyarakat seluruhnya.
Dari beberapa pendapat para ahli diatas penulis
sendiri menyimpulkan, bahwa politik adalah suatu tindakan kepeduliahan
terhadap kondisi negara dan bangsa dari berbagai masalah yang notabene
merusak keutuhan suatu negara khususnya negara indonesia, dari berbagai tekanan
baik problem internal negara maupun eksternal (hubungan bilateral). Politik
juga merupakan suatu tujuan yang muliah untuk mewujudkan pedulih kasih antara
pemangku kebijakan dalam suatu negara yang bersifat populis atau prorakyat.
Selain itu, Moral secara etimologis berasal dari bahasa Latin (Mos=jamak: mores) yang berarti
kebiasaan, adat. Kata “mos” (mores)
dalam bahasa Latin sama artinya dengan “Etos”
dalam bahasa Yunani. Kata Moral jika diartikan dalam bahasa indonesia, “aturan kesusilaan”. Moral adalah istilah menyebut kemanusian
atau orang lainnya dalam tindakan yang memiliki nilai positif. Manusia yang
tidak memiliki moral disebut “Amoral”
artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia
lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia.
Menurut (Gunarsa,1986)
moral pada dasarnya adalah suatu rangakaian nilai dari berbagai macam prilaku
yang wajib dipatuhi, menurut (Shaffer,1979)
moral dapat diartikan sebagai kaidah norma dan pranata yang mampu mengatura
prilaku induvidu dalam menjalani suatu hubungan dengan masyarakat. Sehingga kata
moral adalah hal yang mutlak atau suatu prilaku yang harus dimiliki manusia. Pengertian
moral ini berkaitan erat dengan akhlak manusia atau fitra manusia yang diciptakan
memang dengan kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan buruk. Dari
beberapa pendapat para ahli diatas penulis mencoba menganalogikan moral seperti
“rem pada mobil atau motor yang bisa
mengendalikan kecepatan dalam berlajuh dijalan raya atau mengatur kecepatan
tinggi”. Jadi moral dapat diartikan sebagai suatu komponen nilai yang
mengatur tindakan manusia agar tidak merugikan hak orang lain.
Dewasa ini dinamika politik di Indonesia semakin
hari-semakin asik dan menarik untuk ditilik secara mendalam tentang bagai mana
calon pemimpin bangsa ini berkontestasi untuk merebut kursi kekuasaan, baik di
daerah tingkat 1, tingkat 2, maupun tingkat pusat. Di era reformasih ini
memberikan kebebasan atau peluang bagi generasi muda untuk bersaing secara
sehat agar terpilih jadi pemimpin sesuai yang diinginkan dengan tujuan populis
atau pro rakyat. Di dukukung dengan lahirnya Partai Politik di Indonesia
merupakan sebuah wadah untuk menyalurkan niat atau cita-cita nasional bangsa
ini seperti yang dijelaskan pada undang-undang Dasar 1945, mengembangakan
kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan
rakyat. dalam negara Kesatuan Republik Indonesia (baca UU NO. 2 tahun 2008).
Dengan demikian secara teori dan konstitusi semua keinginan untuk
bergabung atau berpartisipasi dalam rana politik memiliki” rulle of game” (aturan
main) agar tidak melenceng dari tujun muliah politik tersebut. Banyak generasi
muda yang turut berpartisipasi dalam dunia politik tersebut untuk membuktikan
dirinya sebagai seseorang yang mampu mengabdikasihkan kemampuanya sebagai
generasi yang berpotensial dalam hal memimpin.
Seiring berlaluhnya waktu, politik Imagologisme atau
sering disebut dengan politik pencitraan semakin tidak memiliki warna dan
orientasi politiknya mengarah ke induvidual interesd,
seperti: kepentingan pribadi, kepenting kolega, partisan ataupun partai politik
pengusung. Transaksi politik yang seringkali menyampingkan kepentingan umum,
sebagai mana tujuan politik itu. Tentu kondisi ini, korelasi teori dan moral
politik berbanding terbalik dalam dunia praktekanya.
Ini mengambarkan sebuah Retrogresi politik yang
merupakan kondisi pemburukan dan penurunan kualitas. Diakibatkan oleh gejala, dimana
masing-masing elemen politis (termasuk partai politik) tidak dapat bekerja
secara maksimal, semata-mata hanya bertujuan untuk mendapatkan jatah kekuasaan
dan tanpa memperdulihkan publik interesd,
(dalam buku Presiden stengah binatang). Kegonjangan politik ini juga dapat
berimbas pada kegonjangan demokrasi yang pluralitas dan multi kultur. Kondisi
ini pun dimanfaatkan oleh para elit politik untuk memperkeru suasana dengan
menggunakan politik adu domba ataupun yang sering disebut politik indentitas
yang bertujuan untuk meluluh lantakan keberagaman negara kesatuan Republik
Indonesia ataupun menjatuhkan elektabilitas lawan politik yang mengandalkan
keberagaman untuk memperkuat eksistensi politiknya.
Menurut hemat saya, Politik Identitas merupakan
strategi politik yang murahan, buntuh, dan kontra produktif, serta amoral. Karena
menawarkan kedunguan atau ketidak mampuan pemimpin bangsa untuk bersaing secara
cerdas dalam arena politik dengan iming-iming untuk merebut kekuasaan. Strategi
politik yang berlabel Isu SARA dan gender ini, sudah mengepung negara demokrasi
yang pluralistik dan multi kultur. Hal ini dapat disaksikan dengan banyaknya
konflik horizontal yang ditaburkan oleh para aktor-aktor politik yang
mengidentikan dirinya pro rakyat apalagi dalam konteks mayoritas dan minoritas,
seperti yang terjadi di Negara Indonesia sekarang.
Menjamurnya politik identitas yang sering kita
jumpai setiap hari merepresentasikan dekadensi moral atau pun degerdasi sosial
yang ditampilkan oleh para aktor politik yang bermain dibelakang ”layar“, isu
Sara dan gender tersebut. Impact dari politik Identitas tersebut, antara lain:
situasi sosial masyarakat tidak kondusif; merasa terintimidasi, homo himini
lupus, skeptis, intoleransi, dan terjadinya ketidak sesuain apa yang disebut social imagination atau imajinasi sosial tentang kehidupan
sehari-hari manusia moderen dan interaksinya dengan masyrakat umum. Ketika
kondisinya seperti ini, para aktor-aktor politik tersebut membungkam atau “cuci
tangan” dan berpura-pura, seolah bukan mereka yang memancing di air keru
tersebut.
Metode politik seperti ini bisa dikatakan
Intelektual kuldesak (bahasa serapan yang berasal dari frasa Bahasa katalan “cul-de-sac” yang mengacu pada kata ”buntu” jalan tertutup”). Maksud dari
kata intelektual kuldesak pada konteks ini adalah kebuntuhan dalam berpikir
atau ketidak mampuan para aktor politik yang ingin menjadi pemimpin dalam hal
bersaing untuk menurunkan elektabilitas lawan politiknya seperti yang telah
disinggungkan sebelumnya. Oleh karena itu Metode politik Identitas adalah salah
satu setrategi alternatif untuk menjatuhkan lawan politik yang memiliki
elektabilitas tinggi, seperti yang terjadi di Indonesia beberapa tahun yang
lalu yang masih terngiang-ngiang dalam benak atau pikiran kita.
Dimana seorang gubernur (tidak disebutkan
namanya karena bukan kapasitas penulis untuk membahasnya) yang jujur, tulus,
peduli, dan populis, serta memiliki elektabilitas politik yang “merokoet” atau
tidak bisa ditandingi oleh lawan politknya. Di jatuhkan dengan cara keji oleh
oposisi politiknya yang pada akhirnya mendekam dipenjara tanpa status hukum
yang kuat. Kasus ini adalah sebuah contoh bahwa, kondisi moral politik para
pemimpin bangsa ini dirundung kegalauan untuk berkuasa, makanya segalah secara
ditampilkan untuk mendapatkan simpatisan atau memproleh dukungan dari
masyarakat yang pada dasarnya jujur, lugu, dan berdemokrasi.
Jika kondisi politik Identitas ini terus
dipertahankan atau diwariskan di negara kesatuan RI ini, Lantas perlu
dipertanyakan etos dan moralitas politik bangsa ini. Kira–kira arah dan mau
dibawah kemana tujuan politik bangsa ini kalau bukan untuk kepentingan
masyarakat sebagai empunya kedaulatan atau akan kah indonesia tetap bertahan dalam
keBhinekaan? Ini adalah pertanyaan reflektif yang sangat penting untuk
dipikirkan oleh generasi muda bangsa ini, sebagai pemangku kekuasaan
selanjutnya.
Akhir kata Penulis mengucapkan terimaksih,
semoga dengan tulisan ini , dapat membuka hati dan pikiran kita semua agar
tetap mempertahankan keutuhan negara Republik Indonesia dari virus perusak ke
Bhinekaan dalam versi apapun bentuknya. Penulis juga meminta maaf atas
kekurangan dari tulisan ini dan banyak mengutip dari sumber-sumber yang
memiliki kesamaan dan keresahan tentang politik Identitas yang menjamur di
Indonesia. Dan penulis juga menerima kritikan yang bermutu untuk menambah
kualitas tulisan ini.(*)
Penulis adalah Alumni Sekolah Tinggi
Bahasa Asing YAPRI ABA Bandung, Jurusan Bahasa Jepang. Asal Manggarai Barat,
Flores-NTT
Posting Komentar