Jumat, 20 Juli 2018

Politik Identitas Merupakan Representasi Kebobrokan Moral


Dok. Foto Istimewa
Berbicara politik  tentu tidak asing lagi bagi kita sebagai rakyat Indonesia, apalagi di era reformasi ini memberikan peluang ataupun kebebasan kepada siapa saja yang bergabung ke rana politik. Sebelum membahas lebih jauh, terlebih dahulu, memahami definisi politik sebagai inti atau pun acuan dalam penulisan ini. Politik secara etimologis berasal dari bahasa yunani (Politikos, yang berarti dari, untuk, atau yang berkaitan dengan warga negara), adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasan dalam masyarakat  yang antara lain mewujudkan proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Dalam bahasa Belanda (politiek) dan dalam Inggris (politics), yang masing-masing bersumber dari bahasa yunani yang acapkali berkaitan dengan kebijakan dalam suatu negara.
Menurut Aristoteles, politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Disamping itu, politik juga dapat ditilik dari sudut pandang yang berbeda, yaitu antara lain; politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Menurut Joice Mitchel, politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijaksanaan umum masyarakat seluruhnya.
Dari beberapa pendapat para ahli diatas penulis sendiri menyimpulkan, bahwa politik adalah suatu tindakan kepeduliahan  terhadap kondisi negara dan bangsa dari berbagai masalah yang notabene merusak keutuhan suatu negara khususnya negara indonesia, dari berbagai tekanan baik problem internal negara maupun eksternal (hubungan bilateral). Politik juga merupakan suatu tujuan yang muliah untuk mewujudkan pedulih kasih antara pemangku kebijakan dalam suatu negara yang bersifat populis atau prorakyat.
Selain itu, Moral secara etimologis berasal dari bahasa Latin (Mos=jamak: mores) yang berarti kebiasaan, adat. Kata “mos” (mores) dalam bahasa Latin sama artinya dengan “Etos” dalam bahasa Yunani. Kata Moral jika diartikan dalam bahasa indonesia, “aturan kesusilaan”. Moral adalah istilah menyebut kemanusian atau orang lainnya dalam tindakan yang memiliki nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut “Amoral” artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia.
Menurut (Gunarsa,1986) moral pada dasarnya adalah suatu rangakaian nilai dari berbagai macam prilaku yang wajib dipatuhi, menurut (Shaffer,1979) moral dapat diartikan sebagai kaidah norma dan pranata yang mampu mengatura prilaku induvidu dalam menjalani suatu hubungan dengan masyarakat. Sehingga kata moral adalah hal yang mutlak atau suatu prilaku yang harus dimiliki manusia. Pengertian moral ini berkaitan erat dengan akhlak manusia atau fitra manusia yang diciptakan memang dengan kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan buruk. Dari beberapa pendapat para ahli diatas penulis mencoba menganalogikan moral seperti “rem pada mobil atau motor yang bisa mengendalikan kecepatan dalam berlajuh dijalan raya atau mengatur kecepatan tinggi”. Jadi moral dapat diartikan sebagai suatu komponen nilai yang mengatur tindakan manusia agar tidak merugikan hak orang lain.
Dewasa ini dinamika politik di Indonesia semakin hari-semakin asik dan menarik untuk ditilik secara mendalam tentang bagai mana calon pemimpin bangsa ini berkontestasi untuk merebut kursi kekuasaan, baik di daerah tingkat 1, tingkat 2, maupun tingkat pusat. Di era reformasih ini memberikan kebebasan atau peluang bagi generasi muda untuk bersaing secara sehat agar terpilih jadi pemimpin sesuai yang diinginkan dengan tujuan populis atau pro rakyat. Di dukukung dengan lahirnya Partai Politik di Indonesia merupakan sebuah wadah untuk menyalurkan niat atau cita-cita nasional bangsa ini seperti yang dijelaskan pada undang-undang Dasar 1945, mengembangakan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. dalam negara Kesatuan Republik Indonesia (baca UU NO. 2 tahun 2008). Dengan demikian secara teori dan konstitusi  semua keinginan untuk bergabung atau berpartisipasi dalam rana politik memiliki” rulle of game” (aturan main) agar tidak melenceng dari tujun muliah politik tersebut. Banyak generasi muda yang turut berpartisipasi dalam dunia politik tersebut untuk membuktikan dirinya sebagai seseorang yang mampu mengabdikasihkan kemampuanya sebagai generasi yang berpotensial dalam hal memimpin.
Seiring berlaluhnya waktu, politik Imagologisme atau sering disebut dengan politik pencitraan semakin tidak memiliki warna dan orientasi politiknya mengarah ke induvidual interesd, seperti: kepentingan pribadi, kepenting kolega, partisan ataupun partai politik pengusung. Transaksi politik yang seringkali menyampingkan kepentingan umum, sebagai mana tujuan politik itu. Tentu kondisi ini, korelasi teori dan moral politik berbanding terbalik dalam dunia praktekanya.  
Ini mengambarkan sebuah Retrogresi politik yang merupakan kondisi pemburukan dan penurunan kualitas. Diakibatkan oleh gejala, dimana masing-masing elemen politis (termasuk partai politik) tidak dapat bekerja secara maksimal, semata-mata hanya bertujuan untuk mendapatkan jatah kekuasaan dan tanpa memperdulihkan publik interesd, (dalam buku Presiden stengah binatang). Kegonjangan politik ini juga dapat berimbas pada kegonjangan demokrasi yang pluralitas dan multi kultur. Kondisi ini pun dimanfaatkan oleh para elit politik untuk memperkeru suasana dengan menggunakan politik adu domba ataupun yang sering disebut politik indentitas yang bertujuan untuk meluluh lantakan keberagaman negara kesatuan Republik Indonesia ataupun menjatuhkan elektabilitas lawan politik yang mengandalkan keberagaman untuk memperkuat eksistensi politiknya.
Menurut hemat saya, Politik Identitas merupakan strategi politik yang murahan, buntuh, dan kontra produktif, serta amoral. Karena menawarkan kedunguan atau ketidak mampuan pemimpin bangsa untuk bersaing secara cerdas dalam arena politik dengan iming-iming untuk merebut kekuasaan. Strategi politik yang berlabel Isu SARA dan gender ini, sudah mengepung negara demokrasi yang pluralistik dan multi kultur. Hal ini dapat disaksikan dengan banyaknya konflik horizontal yang ditaburkan oleh para aktor-aktor politik yang mengidentikan dirinya pro rakyat apalagi dalam konteks mayoritas dan minoritas, seperti yang terjadi di Negara Indonesia sekarang.
Menjamurnya politik identitas yang sering kita jumpai setiap hari merepresentasikan dekadensi moral atau pun degerdasi sosial yang ditampilkan oleh para aktor politik yang bermain dibelakang ”layar“, isu Sara dan gender tersebut. Impact dari politik Identitas tersebut, antara lain: situasi sosial masyarakat tidak kondusif; merasa terintimidasi, homo himini lupus, skeptis, intoleransi, dan terjadinya ketidak sesuain apa yang disebut social imagination atau imajinasi sosial tentang kehidupan sehari-hari manusia moderen dan interaksinya dengan masyrakat umum. Ketika kondisinya seperti ini, para aktor-aktor politik tersebut membungkam atau “cuci tangan” dan berpura-pura, seolah bukan mereka yang memancing di air keru tersebut.
Metode politik seperti ini bisa dikatakan Intelektual kuldesak (bahasa serapan yang berasal dari frasa Bahasa katalan “cul-de-sac” yang mengacu pada kata ”buntu” jalan tertutup”). Maksud dari kata intelektual kuldesak pada konteks ini adalah kebuntuhan dalam berpikir atau ketidak mampuan para aktor politik yang ingin menjadi pemimpin dalam hal bersaing untuk menurunkan elektabilitas lawan politiknya seperti yang telah disinggungkan sebelumnya. Oleh karena itu Metode politik Identitas adalah salah satu setrategi alternatif untuk menjatuhkan lawan politik yang memiliki elektabilitas tinggi, seperti yang terjadi di Indonesia beberapa tahun yang lalu yang masih terngiang-ngiang dalam benak atau pikiran kita.
Dimana seorang gubernur (tidak disebutkan namanya karena bukan kapasitas penulis untuk membahasnya) yang jujur, tulus, peduli, dan populis, serta memiliki elektabilitas politik yang “merokoet” atau tidak bisa ditandingi oleh lawan politknya. Di jatuhkan dengan cara keji oleh oposisi politiknya yang pada akhirnya mendekam dipenjara tanpa status hukum yang kuat. Kasus ini adalah sebuah contoh bahwa, kondisi moral politik para pemimpin bangsa ini dirundung kegalauan untuk berkuasa, makanya segalah secara ditampilkan untuk mendapatkan simpatisan atau memproleh dukungan dari masyarakat yang pada dasarnya jujur, lugu, dan berdemokrasi.
Jika kondisi politik Identitas ini terus dipertahankan atau diwariskan di negara kesatuan RI ini, Lantas perlu dipertanyakan etos dan moralitas politik bangsa ini. Kira–kira arah dan mau dibawah kemana tujuan politik bangsa ini kalau bukan untuk kepentingan masyarakat sebagai empunya kedaulatan atau akan kah indonesia tetap bertahan dalam keBhinekaan? Ini adalah pertanyaan reflektif yang sangat penting untuk dipikirkan oleh generasi muda bangsa ini, sebagai pemangku kekuasaan selanjutnya.
Akhir kata Penulis mengucapkan terimaksih, semoga dengan tulisan ini , dapat membuka hati dan pikiran kita semua agar tetap mempertahankan keutuhan negara Republik Indonesia dari virus perusak ke Bhinekaan dalam versi apapun bentuknya. Penulis juga meminta maaf atas kekurangan dari tulisan ini dan banyak mengutip dari sumber-sumber yang memiliki kesamaan dan keresahan tentang politik Identitas yang menjamur di Indonesia. Dan penulis juga menerima kritikan yang bermutu untuk menambah kualitas tulisan ini.(*)
Penulis adalah Alumni Sekolah Tinggi Bahasa Asing YAPRI ABA Bandung, Jurusan Bahasa Jepang. Asal Manggarai Barat, Flores-NTT

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search