Minggu, 08 Mei 2022

Asmat Diatas Tungku Budaya

Gorgorius Sanpai, Aktivis PMKRI Bandung

Oleh: Gorgorius Sanpai, Aktivis PMKRI Bandung


Salah satu pengaruh globalisasi yang kian terasa adalah hilangnya dimensi kultural dalam jejak pembangunan, serta tata kelolah pemerintah sebagai otoritas menentukan arah pembangunan suatu wilayah. Dimensi kultural melebur dalam jebakan budaya barat yang mengedepankan modernitas. Peradaban lokal justru entitas yang lahir sebagai sesuatu yang asing bagi lokalitas wilayah dimana budaya tersebut lahir dan berkembang. Genggaman modernitas tersebut menuntut sekaligus mengkondisikan sedemikian untuk cita rasa yang akan moral, masuk dan menjelma menjadi peradaban modern. Situasi ini kita bisa saksikan beberapa kota di Indonesia hari-hari ini.


Berkaca pada fenomena tersebut diatas, bagaimana dengan pembangunan dalam konteks budaya Kini ada era baru dalam penerapan teknologi. Ada istilah teknokultur. Ini soal bagaimana teknologi punya nuansa budaya. Pembangunan boleh modern dan maju tapi disaat yang sama lokalitas wilayah semakin tampak dalam desain dan pranata heterogenitas kehidupan kaum urban. Khasnya ada kemodernan itu sendiri. Semua boleh melangkah jauh mengikuti jejak modernitas, namun cita rasa dan entitas wilayah harus tampil apik terlukis indah dalam mozaik-mozaik pembangunan suatu wilayah.


Andreas Doweng dengan jeli mengatakan, “mungkin kita terlampau berpikir sangat dikotomis, barat versus timur, modern versus primitif, agama versus kafir dan berbagai dikotomi lainnya. Termasuk juga dalam budaya. Kita mengkritik barat tapi juga hidup didalam budaya barat. Barat takut dengan budaya timur sambil ingin bertualangan sampai ke timur”. Menurutnya, kita perlu kembali pada hakekat sebuah budaya sebagai sarana untuk melayani kemanusiaan. Budaya adalah ciptaan kita agar hidup lebih berarti secara personal, sosial, dan juga bermuara pada yang punya segalanya. 


Pembangunan tidak semata-mata akan mengubah haluan dari yang tradisional ke yang modern. Tetapi harus di ukur dari perubahan kemanusiaannya ke arah yang lebih baik yaitu segi pola pikir, sikap mental, dan dalam konteks kehidupan masyarakat Asmat, boleh menerima informasi tentang kehidupan modern tapi harus cerdas untuk mencerna, bebas menerobos peradaban tapi penuh dengan kehati-hatian. Karena globalisasai akan terus memaksa manusia agar terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Maka masyarakat Asmat harus siap dan juga harus menerima kenyataan budaya modern tetapi tidak menghilangkan budaya lokal agar terus hidup sesuai dengan hakekat dasar kehidupan itu sendiri. 


Tentunya pemerintah daerah kabupaten yang menjadi sentral peranannya dalam konteks yang demikian. Penataan konteks harus sesuai dengan konteks tradisi dan budaya kehidupan Asmat. Menurut penulis, paling tidak ada tiga hal yang harus disiapkan sebagai strategi pembangunan daerah dengan seluk beluk kebudayaan.


Pertama, membangun kampung budaya. Ini soal adanya kegiatan festival budaya Asmat tentang “Beorpit dan Teweraut” yang sering diadakan pada bulan Juni dan oktober menjadi momen penting dalam mengatur strategi menarik perhatian pengunjung agar belajar budaya Asmat selain wisatawan tersebut membeli ukiran Asmat. Selain rutinitas, juga ekonomis. Ada proses cita rasa yang tersimpul, sekaligus jadi market kultural yang bukan hanya Indonesia tapi mendunia.


Kedua, membangun kampung ritual. Dengan banyaknya kunjungan wisatawan yang datang dari berbagai negara yang bukan hanya membeli ukiran Asmat, maka momen yang paling penting harus belajar ritual kehidupan orang Asmat. Karena apa? Ini adalah kekhasan yang menjadi entitas kultural di dunia dalam konteks masyarakat Asmat. Sekaligus entitas hakiki, sebagai anugrah yang memang keunikan satu-satunya bukan di Indonesia tapi dunia.


Ketiga, dengan kedua strategi diatas maka perlahan kita akan dikenal sebagai pusat pusat kota budaya. Setiap pengunjung yang datang harus mengetahui adanya keberadaan pusat kota budaya ini. Seperti berkunjung di museum budaya Asmat yang penuh dengan ukiran, perhiasan dan lain sebagainya itu merupakan salah satu contoh dalam menarik perhatian pengunjung bahwa kota Agats adalah pusat kota budaya. 


Jalan dialog kultur


Hakekat kebudayaan adalah bagian dari manusia itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Budaya menggambarkan instrumen kehidupan dalam cita rasa yang kaya akan moral yang berhubungan antara manusia dengan budaya itu sendiri. Bila dihubungkan dengan konteks kehidupan masyarakat Asmat, budaya sebagai kunci untuk memahami kompleksitas permasalahan yang ada disekitar masyarakat melalui pendekatan kebudayaan. 


Bagi masyarakat Asmat, budaya adalah jalan utama mengenai bagaimana manusia bisa didorong agar dapat memaksimalkan potensi dirinya masing-masing. Bagi kehidupan orang Asmat budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok masyarakat kultural yang diwariskan secara turun temurun.


Masyarakat Asmat, secara tradisional hidup melalui hukum adat diatas tanah sendiri. Kita punya beragam dialek. Ini suatu kebanggaan ketika ada aspek dialogis baik secara kultural, untuk keluar dari ruang kebudayaan kita ketika didengungkan keluar daerah lain sebagai promosi kebudayaan. 


Ada dialektika yang beragam sekaligus ada kebersatuan dalam aspek dialogisnya. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannnya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Nah, perbedaan keberagaman bahasa, suku, dan budaya inilah yang merupakan potensi besar secara etnosentrism“ sebagai masyarakat homogen yang punya beragam dialek dan bahasa”. Maka, ada dua dimensi penting dalam kehidupan manusia yang perlu diperhatikan dalam membingkai jalan dialog kebudayaan untuk menempu jalan dialog-kultur.


Pertama, kehidupan sosial budaya. Kebudayaan adalah masayarakat itu sendiri. Budaya adalah instrument kehidupan dalam cita rasa yang kaya akan moral yang berhubungan antara manusia dan budaya. Misalkan masyarakat kita yang mengukir ukiran tanpa gambar atau melalui proses sketsa terlebih dahulu, tapi lewat imajinasi yang secara langsung mengukir. Hubungan yang begitu erat antara masyarakat Asmat dengan budayanya menjadi pendekatan kebudayaan sebagai suatu kunci untuk memahami kompleksitas permasalahan apapun baik itu pembangunan maupun kultural designnya.


Kedua, pendidikan. Hal ini sangat penting untuk mengubah pola pikir masyarakt sehingga mampu bergerak dalam majunya modernitas yang semakin canggih tetapi tidak mengabaikan hakekat dasar sebuah budaya. Pemerintah daerah harus mengatur system untuk menentukan posisi dalam mengikuti arus atau melawan arus untuk mencermati konsisten kecenderungan-kecenderungan yang menandakan arus modernitas yaitu globalisasi.


Dengan memperhatikan gagasan diatas sebagai jalan menuju dialog kebudayaan, menandakan kita punya niat untuk menuju masa depan masyarakat yang baik. Karena setiap dialog merupakan sarana untuk menyampaikan informasi dan menata sebuah budaya lewat ruang dan waktu. Apalagi menyangkut kehidupan masyarakat sebagai peradaban yang tidak boleh direduksi dan direkayasa. Setiap budaya adalah identitas manusia yang kemudian membentuk suatu komunitas sebagai kehidupan masyarakat lewat kebersamaan. 


Berbicara tentang modernitas itu berbeda ruang dan waktu. Apabila modernitas itu bergegemuruh di lingkungan perkotaan maka Asmat punya entitas yang tak pernah tergantikan sebagai kehidupan masyarakat. Entitas itu adalah semangat gotong-royong. Modernitas selalu ingin mengancam tradisi bahkan berpengaruh untuk mereduksi cita rasa kearifan lokal.


Tentu ini tidak boleh berakhir, antara manusia dengan konteks kulturnya harus terpadu secara holistik. Tidak boleh berakhir dengan berlalunya setiap masa dalam strategi kebudayaan apapun itu, Asmat salah satunya.


Penulis adalah Aktivis PMKRI Cabang Bandung St. Thomas Aquinas.

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search